45
Tak Pernah Terima Bantuan, Kisah Pilu Petani Anambas

Tak Pernah Terima Bantuan, Kisah Pilu Petani Anambas

Bagi sebagian masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah, seperti petani, bantuan pemerintah tentunya sangat menjadi dambaan mereka. Dengan bantuan itu, setidaknya dapat meningkatkan taraf hidupnya.

Kasmin (48), petani di Rintis Hilir, Desa Tarempa Selatan Kecamatan Siantan itu, adalah satu dari sekian banyak petani Anambas yang sangat berharap kepedulian pemerintah di sektor pertanian.

“Pemerintah di sini, tidak sama dengan Pemerintah di Natuna sana, mereka sering memberikan bantuan kepada petani di sana,” tutur Kasmin, bertandang ke kebun miliknya, awal pekan lalu.

Kasmin mencoba membandingkan, kebijakan pemerintah di daerah asalnya Kabupaten Natuna. Dulu tuturnya, saat dirinya masih di Natuna, pemerintah di daerah itu, sangat peduli dengan para petani. “Saat kami di sana (Natuna) 15 tahun lalu, hampir setiap tahun kami menerima bantuan berupa subsidi pupuk, maupun bibit sayur,” ungkapnya.

Kini, selama di Anambas, bantuan itu tidak pernah didengarnya. “Jangankan menerima, mendengar saja tidak pernah,” kata Kasmin, yang diamini istrinya, Marini (46).

Belum lagi menurut Kasmin, Dinas Pertanian yang harus peduli dengan nasib petani, tak pernah menampakkan batang hidungnya di desa ini.

Tidak adanya kepedulian itu, membuat Kasmin tidak ingin berharap banyak. Dengan bermodalkan sisa tenaganya yang sudah separuh baya itu, Kasmin dibantu istrinya Marini, tetap mengolah lahan perkebunan seluas 12 hektar. Dari hasil kerja kerasnya itu, kini ia bisa menghasilkan sekitar Rp 2 hingga Rp 3 juta sekali panen. Dari hasil kebunnya itu, Kasmin dan Marini menjualnya ke Tanjungpinang dan Tarempa.

Jumlah itu, menurut Kasmin, lebih besar, jika pemerintah memberikan bantuan subsidi seperti pupuk. “Selama ini, saya bertani dengan modal sendiri. Belum pernah ada bantuan pemerintah kepada kami,” imbuhnya.

Baca Juga :  Himbau Jauhi Narkoba, Polres Anambas Kembali Lakukan Sosialisasi Kepada Masyarakat

“Dari total 12 hektar itu, kami menanam bermacam-macam jenis sayuran seperti cabe, timun, kecipir, bayam, sawi, kacang panjang, jagung, semangka dan banyak lagi,” sebut Kasmin.

Marini yang tampak setia mendapingi suaminya di lahan kebunnya itu menuturkan, pendapatannya kini mulai menurun. Selain, hasil panennya yang berkurang, Membajirnya sayuran dan buah-buahan dari luar Anambas, juga menyebabkan harga-harga hasil panennya menurun drastis.

“Ini kalau lagi ada harga ya bisa sampe Rp2 juta atau Rp3 juta setengah itu pasti dapat kalau untuk sayuran dan yang lain, tapi sekarang udah agak kurang, timun aja yang dulu nya sekilo Rp10 ribu sekarang hanya Rp5 ribu saja, itu pun cuma naik seribu rupiah saja. Kemaren sebelum Rp5 ribu harganya itu hanya Rp4 ribu,”  sebut Marini.

Padahal menurut Marini, sekali menanam, ia harus merogoh koceknya hingga puluhan juta sebagai modal awal. Uang tersebut dipergunakan membeli pupuk, bibit dan kebutuhan lainnya. “Untuk modal usaha sendiri yang dikeluarkan oleh petani itu sekitar Rp10 jutaan, untuk membeli pupuk, jaring-jaring dan bibit bibit lainnya,” sebutnya.

Ia menghitung, harga pupuk di Tanjungpinang sekitar Rp500 ribu. Untuk sekali tanam, ia membutuhkan sekitar 5 Sak. Adapun bibit ia beli dengan harga Rp 40 ribu. “Belum lagi jaring,  jadi kalo ditotal sekitar Rp10 juta bisa lebih,” katanya.

Ia sangat menyangkan, Dinas Pertanian Kabupaten Kepulauan Anambas, mengabaikan petani, padahal menurutnya, hasil pertanian itu, dikonsumsi oleh mereka para pejabat.

“Harapan saya kepada orang Dinas Pertanian itu ya perhatikanlah seorang petani,  Tarempa ini kan rata-rata pegawai semua, jadi petani ini jangan diabaikan,” pintanya.